Tragedi Pembantaian di Desa Tobelo
Tobelo merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.
Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.
Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).
Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.
Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.
Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.
Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.
Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)
Ambon, 19 Januari 1999 ….Lebaran Tak Terlupakan.. ( catatan saksi hidup)
Hari itu adalah hari yang sangat saya nantikan, pagi-pagi benar kami sudah bangun, mandi dan menggunakan pakaian baru dan bersih. Sholat Id kami tunaikan di depan rumah, bersalam-salaman dengansemua tetangga. Dan moment yang hampir ‘tak bisa diungkapkan’ adalah ketika memohon maaf pada Ibu, ayah dan saudara dengan dada yang berguncang penuh sesak, menahan emosi dan air mata. Tapi Ibu selalu bilang, ’sejak kamu lahir Ref, mama selalu memaafkan apa yang kamu lakukan dan akan lakukan’. Tanpa kamu minta maaf pun Mama sudah memaafkanmu. Tak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali memeluk Ibu selama mungkin dan mencium pipi, kening dan rambutnya.
Setelah itu kami pun berangkat ke Kota Ambon, janjian dengan ayah yang berangkat dari Tawiri kemudian bersilaturahim dengan besan, saudara, handai taulan dan kerabat. Suasana pada hari itu memang beda dari biasanya. Berbeda dengan lebaran yang lalu, kali ini terlihat kosentrasi masa dimana-mana, disepanjang jalan Tulehu – Ambon. Bahkan kosentarasi masa itu menumpuk dan menimbulkan tanda tanya dalam diri saya sampai peristiwa itu terjadi. Fakta yang menguntungkan pada waktu itu adalah, ternyata terjadi perbedaan waktu shalat ied antara tulehu dan Ambon. Jika di Tulehu Ied dimulai jam 6 kurang dengan khotbah yang pendek. Di Masjid Al-Fatah Ambon, shalat ied dimulai jam 7 dengan khotbah yang cukup lama. Jadi ketika kami sekeluarga sampai di Kota Ambon, masih dalam keadaan shalat Ied, dan kami memutuskan parkir di depat masjid Al-Fatah sambil menunggu Ayah.
Tak berapa lama ketika sholat usai, atas permintaan Ibu kami langsung menuju ke rumah seorang besan di dekat Al-Fatah. Namun pada saat itulah tersiar khabar bahwa telah terjadi pembakaran dan amuk masa dimana-mana, hampir di seluruh penjuru kota dan desa. Kami terjebak di rumah mertua, dan hanya kami satu-satunya muslim disana karena selebihnya Kristen. Namun ‘orang sekampung kristen’ itu melindungi Kami, dan meminta orang-orang Kristen yang lain tidak menyerang kami. Ketika suasana agak reda, Kami dijemput oleh segerombolan tentara dan diungsikan ke Masjid Al-Fatah. Betapa memerikan pemandangan sepanjang jalan. Penuh dengan mayat-mayat yang hampir semuanya muslim, mereka dalam keadaan masih menggunakan perlengkapan shalat, memeluk anaknya dan semuanya masih tergeletak hampir disepanjang lorong, jalan dan got. Hari ini Kota Ambon banjir darah, dan bau mayat ada dimana-mana, Anyir!. Jiwa saya sangat bergetar, dan yang terpikir, dimana Ayah? Dimana Ayah? Ibu berusaha tenang namun saya dan kakak sangat panik. Dan yang lebih panik lagi. Adik perempuan saya, Elida Yanti pada waktu itu dalam perjalanan Tulehu – Ambon. Saya berjalan disepanjang jalan kota, menyelusuri sepanjang jalan, melihat setiap jenazah di kamar jenazah, membalikan yang tergeletak di jalan dengan seksama, bergetar dan berharap tidak ada ayah dan adik peremuan saya diantara jenazah-jenazah itu. Lelah, panik dan pasrah, namun tak ada pilihan kecuali mencari jawaban tentang kepastian kondisi ayah dan adik, karena ketika dihubungi per telepon ke rumah tak ada jawaban.
Rupanya ‘keadaan tenang’ pada hari itu hanya berlangsung sesaat. Siang itu meletus kerusuhan yang jauh lebih besar, dan saya berlari ke mesjid menemui Ibu. Dan Alhamdulillah bersama Ibu adik perempuan saya telah ada bersama beliau. Saya menangis karenanya dan kini tugas saya hanyalah mencari tahu keadaan Ayah. Namun kondisi yang genting memaksa saya untuk tidak dapat melakukan apa-apa, kecuali tetap di Masjid Al-Fatah, melindungi Ibu dan adik perempuan saya. Malam itu keluar fatwa Jihad dari Majelis Ulama Indonesia Ambon dan Imam Besar Masjid Raya Al-Fatah. Jadi diwajibkan bagi setiap laki-laki untuk berjihad, karena telah terjadi penyerangan dan saling serang hampir diseluruh penjuru. Pada waktu itu terlihat mayat begitu banyaknya digotong, ada yang hidup tapi dalam kondisi tidak utuh lagi. Ada yang tangannya terpotong, ada yang matanya terusuk dan bahkan ada yang gila karena kehilangan keluarga.
Malam itu, kali pertama saya menjadi manusia seutuhnya, belajar bertanggung jawab dan berperang. Ketika fatwa itu keluar, semua wanita dikumpulkan di tengah masjid, diluar berkumpul semua laki-laki tua dan muda, bersenjatakan apa saja dan siap berperang. Waktu itu saya memegang senjata berupa tombak besi, dan berpatroli keliling kota. Kadang harus berhadap-hadapan dengan segerombolan orang, bertempur tanpa rasa takut mati, karena Ibu-Ibu kami telah mengikhlaskan kami mati di jalan ALLAH. Setiap hari satu demi satu teman mati syahid, kering rasanya air mata ini menangis kehilangan. Pagi tadi kita baru shalat bersama, sahur bersama, siangnya sudah terdengar dia gugur di medan perang. Ada yang siangnya baru berpelukan dan bersalaman. Sejam kemudian dia mati dipelukan karena kehabisan darah karena tombak yang bersarang dipunggungnya.
Pada waktu itu, yang ada dalam pikiran saya hanyalah bertahan dan berjuang. Bukankah ini adalah kesempatan syahid di Jalan ALLAH? Semua teman-teman saya ketika dikuburkan tak lagi dimandikan, karena ALLAH telah memberikan mereka syurga. Dan saya melihat jelas, betapa syuhada itu mati dengan tersenyum, seakan-akan mereka telah melihat syurga seperti yang dijanjikan ALLAH. Setiap kembali ke masjid, saya lihat Ibu dalam keadaan berdoa, ruku dan sujud. Beliau selalu memberikan semangat untuk tidak pernah takut! JANGAN TAKUT REF! Bukankah ganjarannya sangat setimpal dijanjikan ALLAH? Jangan pikirkan Mama karena Demi ALLAH! Mama sangat ikhlas. Tak ada cita-cita yang lebih tinggi kecuali mati sebagai seorang syahid. Lalu adakah yang lebih mulia dari itu? Pada hari itu saya berbicara di hadapan ALLAH, bahwa jiwa dan raga saya telah saya pasrahkan padaNYA. Sejak itulah hampir setiap hari saya maju ke medan perang, bertempur membela keyakinan yang saya yakini. Namun ada sebuah catatan yang hingga kini masih tertoreh di hati, bahwa saya tidak pernah membenci manusia kecuali karena perilakunya. Dan saya tidak pernah membenci orang karena agamanya, karena sedari dulu saya tahu bahwa semua agama itu baik. Jadi perilaku seseorang tidak bisa diidentikkan dengan agama yang dia anut. Apa buktinya? Ketika terjebak di rumah keluarga besan, kami dilindungi oleh Kaum Kristen, Selamatnya adik saya juga karena dilindungi oleh sekelompok pemuda kristen bahkan mereka mengantarkan adik saya ke masjid, dan yang ketiga ayah saya di Tawiri yang notabene satu-satunya muslim di desa itu jiwa dan hartanya dijaga oleh Kalangan Kristen. Jadi apakah agama bisa mewakili perilaku? Mungkin tidak sepenuhnya benar.
Keajaiban – Kejaiban di Bulan Syawal
Banyak keajaiban dan keanehan yang saya alami. Pada setiap pertempuran bahkan berhadap-hadapan dengan musuh, saya selalu selamat seperti ada yang menjaga. Hal yang paling beratpun paling terluka di tangan dan punggung akibat sabetan parang. Namun tak seberapa sakitnya, dibanding apa yang saya lihat terjadi pada teman-teman lain yang syahid. makan yang saya makan pun dari sisi kelayakan dan hiegenis juga sangat buruk, dan lebih sering tidak makan karena saya lebih mengutamakan anak-anak dan perempuan. Adik perempuan saya turut berjuang, mempersiapkan segala seusatunya, bahkan maju ke medan tempur. Kami berdua sering makan makanan yang basi, bahkan kami tak jarang makan daun-daunan yang kami petik dari langsung dari pohonnya, bahkan bunga pun kami makan. Tapi inilah bagian kebesaran ALLAH. Kami berdua tak pernah sakit perut, bahkan tumbuh rasa saling menyayangi dan kesadaran persaudaraan yang begitu dalam hingga kini.
Banyak sekali keajaiban lain yang hingga kini masih menyisakan pertanyaan. Pada suatu saat, saya terbaring lelah di pelataran mesjid bersama adik perempuan saya. Tiba-tiba beduk berbunyi dan kumandang azan bergema, padahal waktu shalat belum masuk. Rupanya pada malam itu Masjid Al-Fatah diserang oleh beribu orang dari empat penjuru mata angin, dari darat dan laut. Pada hari itulah saya merasa bahwa itulah hari terakhir saya hidup didunia, mengingat keadaan yang lemah, dan jumlah musuh yang jauh lebih besar dengan peralatan yang lengkap. Dengan tombak ditangan, saya ciumi adik saya itu dan memintanya menemui Ibu, dan sampaikan pesan bahwa betapa saya sangat menyayangi beliau sebagai pesan terakhir. Malam itu saya maju ke barisan paling depan, tepat di depan pagar masjid bersama pemuda-pemuda berani lainnya. Dan dari dalam masjid, terdengar takbir bergemuruh membelah langit… Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…La Ilaha Illallahu Allah Akbar…Allahu Akbar Walillah Ilham… berulang bergema, bergemuruh yang menjadi mesiu bagi kami menghadapi musuh yang menyerang. Serangan malam itu sangat dasyat, mereka persis didepan Masjid, berusaha menaiki pagar menyerang penuh dendam, marah dan murka. Namun ketika semuanya ‘berjuang pasrah’ menengadahkan tombak, parang atau apa saja, menahan serangan agar tak bisa menerobos hingga ke dalam Masjid yang berisikan perempuan-perempuan , diantara Ibu dan adik perempuan saya. Namun entah kenapa, tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya, semua penyerang itu tiba-tiba lari terbirit-birit seperti dikejar setan, dan saya terdiam masgul. Ada apa gerangan? Apakah ini taktik? Atau…..
Dari beberapa mereka yang tertangkap, terungkap bahwa mereka melihat beribu-ribu tentara berkuda berjubah putih mengelilingi Masjid dan balas menyerang mereka tanpa rasa takut dan pedang terhunus. Hampir seratus orang yang tertangkap berkata sama. Masya ALLAH, rupanya ALLAH telah menunaikan janjinya, menurunkan bala tentara dari langit. Keajaiban lain yang tidak terlupakan adalah ketika tiba-tiba dari kejauhan saya melihat ada bola api yang sangat besar menuju ke Masjid, namun entah kenapa sebelum menyentuh Masjid, Bola api itu kembali keasalnya. Rupanya ALLAH benar-benar menjaga balatentaranya. Sejak itu saya tidak lagi pernah menjadi pengecut, dan tidak pernah mengenal rasa takut terhadap siapapun di dunia. Peristiwa demi peristiwa teah mengajarkan saya menjadi laki-laki pemberani.
-muslim voice-
Pembantaian Di Pesantren Walisongo
Pembantaian terhadap warga Pesantren Walisongo, merupakan rangkaian dari kekejaman serial yang terjadi di Poso. Kasus Poso sendiri sudah terjadi sejak 25 Desember 1998, di saat-saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Shaum Ramadhan 1419 H. Sedangkan pembantaian terhadap warga pesantren Walisongo, berlangsung pada hari Minggu tanggal 28 Mei 2000. Hidayatullah.com dalam salah satu laporannya menuliskan:
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz, santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.
Dari tragedi pembantaian ini, aparat menetapkan tiga tersangka utama Fabianus Tibo (saat itu berusia 60), Dominggus da Silva (saat itu berusia 39), dan Marinus Riwu (saat itu berusia 48). Ketiganya menjalani hukuman mati secara serentak pada tanggal 22 September 2006, Jumat dinihari pukul 01.45 WITA. Eksekusi mati dilaksanakan di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak Brimob Polda Sulawesi Tengah.
Sebelum dieksekusi mati, Tibo cs pernah mengungkapkan peranan 16 tokoh penting Poso dan keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena –kota kecil di tepian Danau Poso– secara langsung dalam kerusuhan Poso. Sayangnya, hingga kini mereka yang memegang jabatan di Majelis Sinode tidak pernah diperiksa polisi.
Sebuah lembaga penegakan syari’ah pada hari Rabu tanggal 14 Desember 2005, pernah mewawancarai Fabianus Tibo di Lembaga Pemasyarakatan Fetobo, dan mentranskrip pernyataan Tibo perihal keterlibatan orang-orang penting di belakang tragedi pembantaian Poso, sebagai berikut:
Supaya bapak-bapak bisa tahu bahwa inilah yang sebenarnya. Kenapa dari dulu semua pengacara kami tutup, tidak bisa kami mengungkapkan semuanya, kami tidak boleh bicara.
Sampai di kantor pengadilan pun tidak bisa kami berbicara, selalu ditekan terus. Kenapa? Karena mereka takut, karena ada yang kami akan ungkapkan semuanya itu.
Jadi, saya ingin ungkapkan, supaya bapak-bapak tahu, kenapa saya harus berada di Poso.
Karena Yanis Simangunsong, mungkin bapak-bapak sudah tahu itu nama 16 orang, Yanis Simangunsong yang datang ke Beteleme, waktu itu belum Kabupaten, masih Kecamatan Lepo. Jadi, Yanis datang ke rumah saya dia katakan, “Om, Gereja dengan Suster, Pastur, dengan anak sekolah di sana orang Islam akan bunuh semua.”
Lalu saya katakan, “Bahasamu itu kamu bisa bertanggungjawab, kalau tidak benar saya lapor polisi.” Dia katakan, “Ya, kalau om percaya atau tidak ya terserah. Tetapi saya yang katakan itu benar.”
Apa yang terjadi? Karena dia provokasi seluruh orang yang ada –sekarang sudah kabupaten ya– di Kabupaten Morowali, mulai dari Beteleme Kolongale sampai Wuku (?). Dimana di situ ada umat Kristen, di situlah Yanis Simangunsong provokasi, sehingga di sana hampir tejadi di pasar Beteleme waktu itu, karena dengan provokasinya, sehingga apa, Islam yang ada di pasar Beteleme ketakutan yang lain lari.
Selain Yanis Simangunsong, beberapa nama yang termasuk ke dalam 16 tokoh penting yang berperanan penting terhadap terjadinya pembantaian di Poso, sebagaimana disebutkan Tibo adalah: L Tungkanan, Eric Rombot, Mama Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer Pelima, Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli, Yahya Patiro (mantan Sekab Poso). Mantan Bupati Poso dua periode (1974-1984) Letkol Purn Drs. R.P.M.H Koeswandhi, Sth yang kini berdomisili di Jakarta, diduga ikut bermain api dan memanaskan situasi.
Tibo cs juga pernah menyebut beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan “jenderal” seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H menurut pengakuan Tibo cs berperan sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh Kaditserse Polda Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, sesuai pemeriksaan terhadap Tibo dkk, ia membenarkan nama “H” disebut-sebut sebagai salah seorang konseptor penyerangan kantong-kantong permukiman muslim di lima kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso sendiri (lihat Antara 9 Agustus 2000, juga Kompas 10 Agustus 2000).
Dukungan Untuk Tibo cs dan Tekanan Vatikan
Sebelum akhirnya dieksekusi, Tibo cs mendapat dukungan luas dari dalam dan luar negeri. Semula, pelaksanaan hukuman mati atas Tibo cs direncanakan berlangsung Sabtu dinihari, tanggal 12 Agustus 2006 pukul 00.15 waktu setempat. Namun karena adanya surat tekanan Vatikan itu, eksekusi mati ditunda hingga 22 September 2006. Sebagaimana diakui Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla, bahwa pada 12 Agustus 2006 ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang meminta Tibo cs tidak dieksekusi.
Faktanya, menjelang eksekusi mati Tibo cs memang banyak bermunculan berbagai suara yang berusaha menghalang-halangi dilaksanakannya ekesekusi mati bagi Tibo cs yang secara sadis dan biadab telah membantai komunitas Muslim Poso, khususnya warga Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage. Mereka memposisikan Tibo cs seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan, sehingga dengan lantang mereka menyuarakan penolakan eksekusi mati atas Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah menyinggung para korban yang telah dibantai secara sadis, terencana, dan biadab.
Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang berpusat di Semarang, mengungkapkan isi hatinya berupa opini, bahwa “…Kasus yang menjerat Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka menjadi korban peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan dan proses hukum yang inskonstitusional…” (Kompas, Sabtu, 23 September 2006).
Tokoh intelektual umat Katolik Indonesia Frans Magnis Suseno saat mengunjungi Tibo dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu (pertengahan April 2006) mengatakan, pemerintah Indonesia tidak boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk karena saat ini banyak pertimbangan yang muncul yang menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum tidak dapat melakukan eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani oleh Tibo dkk.
Gus Dur salah satu tokoh sepilis (sekulersime, pluralisme agama, dan liberalisme), bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh Golkar) dan Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon. Mereka antara lain mengatakan, Tibo cs merupakan saksi mahkota, bila dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika Tibo sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan dalang kerusuhan Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan penegakan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena menurut Akbar Tandjung, sebaiknya eksekusi terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi kepentingan mengungkap aktor intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa kerusuhan Poso. Aktor intelektual yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama yang pernah dinyatakan secara sepihak oleh Tibo sebagai aktor utama.
Mereka sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah dianiaya sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak! Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendukung kekejaman, mendukung kebiadaban, mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang berorientasi disintegratif.
Cobalah perhatikan, mereka yang dulu menolak hukuman mati terhadap Tibo cs dengan dalih “kematian merupakan hak Tuhan” dan berbagai dalih lainnya, sudah bisa dipastikan tidak akan bersuara apa-apa ketika rencana eksekusi mati terhadap pelaku Bom Bali direalisasikan. Justru, mereka cenderung mendorong pemerintah secepatnya melaksanakan eksekusi tersebut. Bahkan ada yang secara emosional berpendapat, “bila perlu termasuk keluarganya sekalian dihukum mati.” Standar ganda seperti itu memang perilaku khas mereka, orang-orang yang sok demokratis, orang-orang yang sok humanis, dan sok moralis. Hipokrit.
http://www.nahimunkar.com/?p=161#more-161
http://kristologis.blogspot.com